PENELITIAN TINDAKAN KELAS: KONSEP DASAR DAN PROSEDUR PELAKSANAANNYA
Joko Nurkamto
Universitas Sebelas Maret Solo
A. Pendahuluan
Guru merupakan ujung tombak pelaksanaan pendidikan karena gurulah yang secara langsung memimpin kegiatan belajar mengajar di dalam kelas, yang menjadi inti kegiatan pendidikan. Itulah sebabnya guru dituntut memiliki kemampuan profesional yang memadai sebagai bekal untuk melaksanakan tugasnya itu (Whitehead, dalam McNiff, 1992). Guru yang profesional adalah guru yang mampu (1) merencanakan program belajar-mengajar, (2) melaksanakan dan memimpin kegiatan belajar-mengajar, (3) menilai kemajuan kegiatan belajar-mengajar, dan (4) menafsirkan serta memanfaatkan hasil penilaian kemajuan belajar-mengajar dan informasi lainnya bagi penyempurnaan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan belajar-mengajar (Soedijarto, 1993).
Oleh karena itu, guru yang professional adalah guru yang senantiasa melakukan refleksi atas apa yang telah direncanakan dan dilakukannya serta mengambil tindakan yang tepat berdasarkan hasil refleksi itu. Namun demikian kenyataan di lapangan menunjukkan lain. Dalam kaitan ini, Cochran-Smith dan Lytle (dalam Johnson, 1992: 212) mengatakan bahwa
What is missing from the knowledge base for teaching … are the voices of the teachers themselves, the questions teachers ask, the ways teachers use writing and intentional talk in their work lives, and the interpretive frames teachers use to understand and improve their own classroom practices.
Akhir-akhir ini muncul kesadaran akan pentingnya guru melibatkan diri dalam penelitian “praktis” di dalam setting tempat ia bekerja. Karena guru begitu dekat dengan siswa dalam kegiatan belajar-mengajar sehari-hari, maka penelitian dari perspektif mereka yang “unik” tersebut diharapkan mampu memberikan sumbangan yang berarti bagi pengetahuan tentang pembelajaran di dalam kelas (Johnson, 1992). Kegiatan semacam itu sering disebut penelitian tindakan kelas (classroom action research).
Tulisan singkat ini dimaksudkan untuk memberikan pemahaman awal tentang penelitian tindakan kelas, yang selanjutnya disingkat dengan PTK. Untuk keperluan itu, pada bagian-bagian selanjutnya dalam tulisan ini secara berturut-turut akan dibahas (1) pengertian PTK, (2) model PTK, (3) prosedur PTK, (4) sifat PTK, dan (5) prinsip PTK bagi guru.
B. Pengertian PT(K)
Istilah penelitian tindakan berasal dari frasa action research dalam bahasa Inggris. Di samping istilah tersebut, dikenal pula beberapa istilah lain yang sama-sama diterjemahkan dari frasa action research, yaitu riset aksi, kaji tindak, dan riset tindakan. Untuk menyamakan persepsi kita, dalam tulisan ini digunakan istilah penelitian tindakan. Penelitian tindakan yang diterapkan di dalam kelas dikenal dengan istilah penelitian tindakan kelas (PTK). Dalam beberapa literatur bahasa Inggris, PTK tersebut memiliki beberapa nama yang berbeda meskipun konsepnya sama. Nama-nama tersebut adalah classroom research (Hopkins, 1993), self-reflective enquiry (Kemmis, 1982), dan action research (Hustler et al, 1986). Di Indonesia, istilah yang populer digunakan untuk PTK adalah classroom action research. Istilah inilah yang digunakan dalam tulisan ini.
Istilah penelitian tindakan itu sendiri diciptakan oleh Kurt Lewin, seorang sosiolog Amerika yang bekerja pada proyek-proyek kemasyarakatan yang berkenaan dengan integrasi dan keadilan sosial di berbagai bidang seperti perumahan dan ketenagakerjaan (Webb, 1996: 146). Seiring dengan terbitnya literatur-literatur di bidang penelitian tindakan, terdapat berbagai pengertian penelitian tindakan. Berikut ini dikemukakan tiga pengertian penelitian tindakan yang dikemukakan oleh Kemmis, Ebbutt, dan Elliot yang saya kutip dari Hopkins (1993: 44-45).
Pengertian pertama diberikan oleh Stephen Kemmis. Ia mengatakan bahwa:
action research is a form of self-reflective enquiry undertaken by participants in social (including education) situations in order to improve the rationality and justice of (a) their own social or educational practices, (b) their understanding of these practices, and (c) the situation in which the practices are carried out. It is most rationally empowering when undertaken by participants collaboratively, though it is often undertaken by individuals, and sometimes in cooperation with ‘outsiders’.
Pengertian kedua disampaikan oleh Dave Ebbutt, yang menyatakan bahwa:
action research is about the systematic study of attempts to improve educational practice by groups of participants by means of their own practical actions and by means of their own reflection upon the effects of those actions.
Pengertian ketiga berasal dari John Elliot. Menurutnya, penelitian tindakan adalah:
‘the study of a social situation with a view to improving the quality of action within it. It aims at practical judgement in concrete situations, and the validity of the ‘theories’ or hypotheses it generates depends not so much on ‘scientific’ tests of truth, as on their usefulness in helping people to act more intelligently and skilfully. In action-research ‘theories’ are not validated independently and then applied to practice. They are validated through practice.
Dari ketiga definisi tentang penelitian tindakan di atas dapat dikemukakan beberapa karakteristik PTK sebagai berikut.
1. PTK adalah suatu penelitian tentang situasi kelas yang dilakukan secara sistematik, dengan mengikuti prosedur atau langkah-langkah tertentu.
2. Kegiatan tersebut didorong oleh permasalahan dalam kelas yang dihayati oleh guru dalam pelaksanaan tugas sehari-hari sebagai orang yang berupaya membelajarkan siswa.
3. Tujuannya adalah untuk memecahkan masalah yang timbul dalam kelas dan/atau meningkatkan kualitas situasi kelas tersebut, termasuk praktek-praktek yang ada di dalamnya.
4. Upaya pemecahan masalah dan/atau peningkatan kualitas tersebut dapat dilakukan oleh satu orang, yaitu guru kelas itu sendiri. Namun, upaya tersebut akan lebih berhasil guna apabila dilakukan secara kolaboratif oleh suatu tim yang anggota-anggotanya terdiri atas orang-orang dari dalam sekolah itu, atau secara bersama-sama antara orang-orang dari sekolah tersebut dengan pihak luar.
5. Ukuran keberhasilan PTK didasarkan pada kemanfaatannya memecahkan masalah yang timbul di dalam kelas dan/atau meningkatkan kualitas sistem dalam kelas itu serta praktek-praktek yang ada didalamnya.
6. Kredibilitas ‘teori’ atau ‘hipotesis’ ditentukan oleh kemanfaatannya dalam memecahkan persoalan praktis. Oleh karena itu validitasnya diuji melalui praktek di lapangan, tidak melalui uji kebenaran ilmiah.
C. Model PTK
Ada beberapa model penelitian tindakan, seperti model yang diusulkan oleh Stephen Kemmis, John Elliot, dan Dave Ebbutt. Model-model tersebut dikembangkan dari pemikiran Kurt Lewin pada tahun 1946 (McNiff, 1992:19). Ia menggambarkan penelitian tindakan sebagai serangkaian langkah yang membentuk spiral. Setiap langkah memiliki empat tahap, yaitu perencanaan (planning), tindakan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting). Secara visual, tahap-tahap tersebut dapat disajikan pada gambar 1 (McNiff, 1992: 22).
Gambar 1. Model Dasar Penelitian Tindakan dari Kurt Lewin
Contoh (dari penulis makalah ini):
1. Perencanaan : Bagaimana saya dapat membuat para mahasiswa speak up dalam matakuliah speaking? Mungkin saya perlu memberikan penghargaan (reward) kepada mahasiswa yang mau berbicara.
2. Tindakan : Saya memberikan penghargaan (yang berupa tambahan nilai) kepada setiap mahasiswa yang mau berbicara.
3. Pengamatan : Bersamaan dengan itu, saya mengamati apakah dengan penghargaan tersebut para mahasiswa mau berbicara.
4. Refleksi : Para mahasiswa mulai mau berbicara. Namun, mereka tampak masih malu-malu kucing. Saya perlu merencanakan suatu tindakan agar mahasiswa mau berbicara tanpa malu-malu lagi.
Tahap-tahap di atas, yang membentuk satu siklus, dapat dilanjutkan ke siklus berikutnya dengan rencana, tindakan, pengamatan, dan refleksi ulang berdasarkan hasil yang dicapai pada siklus sebelumnya. Dengan demikian, gambar 1 di atas dapat dikembangkan menjadi gambar 2 (McNiff, 1992: 23). Jumlah siklus dalam suatu penelitian tindakan tergantung pada apakah masalah (utama) yang dihadapi telah terpecahkan
Gambar 2. Model Dasar yang Dikembangkan
Model penelitian tindakan yang lebih kompleks diberikan oleh John Elliot (McNiff, 1992: 30), sebagaiman tersaji pada gambar 3. Model tersebut terdiri atas tiga siklus. Siklus pertama diawali dengan pengidentifikasian masalah awal yang mendorong dilaksanakannya penelitian tindakan. Langkah selanjutnya adalah memperdalam masalah tersebut dengan mempertajam dan mencari penyebab timbulnya masalah itu. Atas dasar langkah tersebut disusunlah rencana umum pemecahan masalah yang meliputi tindakan tertentu. Langkah berikutnya adalah mengimplementasikan tindakan tersebut. Pada fase ini sekaligus dilakukan monitoring terhadap pelaksanaan tindakan dan dampak yang dihasilkan oleh tindakan tersebut. Langkah terakhir adalah melakukan refleksi untuk mengidentifikasi dan menjelaskan kesulitan-kesulitan yang dihadapi dan untuk melihat hasil akhir keseluruhan proses. Siklus pertama berakhir pada langkah ini.
Apabila masih ditemukan adanya masalah yang belum terpecahkan maka peneliti dapat melangkah ke siklus kedua, dengan membuat rencana tindakan ulang berdasarkan hasil refleksi pada siklus sebelumnya. Dengan demikian, pada siklus kedua ini terjadi revisi atau modifikasi rencana tindakan pertama, sesuai dengan keadaan di lapangan. Langkah-langkah selanjutnya relatif sama dengan langkah-langkah yang telah dipaparkan pada siklus pertama. Demikian seterusnya hingga masalah yang dihadapi dapat terpecahkan. Untuk itu barangkali diperlukan lebih dari tiga siklus; dan hal itu tidak menjadi masalah, karena jumlah siklus tidak ditentukan oleh hal lain kecuali terpecahkannya masalah.
D. Prosedur PTK
Bertitik tolak dari model-model di atas dapat dikemukakan prosedur PTK yang saya adaptasi dari Natawidjaja (1997).
RA PL RM PT T1 O1 R1 PU …
Keterangan:
RA : Refleksi Awal PT: Perencanaan Tindakan R1: Refleksi Pertama
PL : Pengenalan Lapangan T1: Tindakan Pertama PU: Perencanaan Ulang
RM: Rumusan Masalah O1: Observasi Pertama … : T2, O2, R2, dst
Cycle 1 Cycle 2 Cycle 3
Identifying
Initial Idea
Reconnaissance
(Fact Finding and analysis)
General Plan
Action Steps 1 Implement
Action
Steps 1
Action Steps 2
Action Steps 3
Monitor
Implementation and effects
Reconnaissance
(Explain any failure to implement, and effects)
Revise General Idea
Amended Plan
Action Steps 1
Action Steps 2 Implement
Next Action
Steps
Action Steps 3
Monitor
Implementation and effects
Reconnaissance
(Explain any failure to implement, and effects)
Revise General Idea
Amended Plan
Action Steps 1
Action Steps 2
Action Steps 3 Implement
Next Action
Steps
Monitor
Implementation and effects
Reconnaissance
(Explain any failure to implement, and effects)
Gambar 3. Model Penelitian Tindakan dari John Elliot
Berikut ini disajikan penjelasan singkat tentang prosedur penelitian tindakan kelas (PTK) di atas.
1. Refleksi Awal
PTK dimulai dari kesadaran akan adanya masalah di dalam kelas yang merupakan hasil refleksi awal (oleh guru/peneliti) atas apa yang terjadi selama periode tertentu. Masalah tersebut pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu masalah pemelajaran (learning) dan masalah pengelolaan kelas (class management). Kategori pertama berkenaan dengan masalah belajar, seperti pemahaman konsep yang kurang tepat, kesulitan melafalkan kata-kata tertentu, kesulitan menulis dengan rapi, kesalahan strategi belajar, dan rendahnya prestasi belajar. Kategori kedua berkaitan dengan masalah perilaku siswa, seperti sering terlambat hadir dalam kelas, sikap pasif di dalam kelas, sikap agresif terhadap guru, sering mengantuk, membuat kegaduhan dalam kelas, sering membolos, menyontek ketika ujian, dan sering tidak menyelesaikan tugas tepat pada waktunya (Turney, 1992).
2. Pengenalan Lapangan
Masalah-masalah tersebut selanjutnya diidentifikasi dan disusun menurut skala prioritas, yaitu masalah-masalah mana yang perlu dipecahkan dengan segera, masalah-masalah mana yang dapat ditunda pemecahannya, dan masalah-masalah mana yang dapat diabaikan. Terhadap masalah-masalah yang perlu pemecahan segera, yang selanjutnya akan menjadi tema penelitian, dilakukan analisis lebih lanjut agar peneliti dapat mengenali masalah-masalah tersebut secara lebih mendalam. Analisis terhadap permasalahan itu dapat dilakukan dengan berbagai teknik, yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu teknik pengukuran (measurement) dan teknik non-pengukuran (non-measurement). Teknik pengukuran yang paling lazim digunakan adalah tes (test), sedangkan teknik non-pengukuran meliputi pengamatan (observation), wawancara (interview), analisis dokumen (document analysis), catatan anekdot (anecdotal records), skala sikap (rating scales), dan lain-lainnya (Gronlund, 1985; Spradley, 1980).
3. Rumusan Masalah
Berdasarkan hasil identifikasi dan analisis masalah di atas peneliti merumuskan masalah yang akan dipecahkan melalui penelitian tindakan. Masalah hendaknya dirumuskan secara jelas dengan disertai dengan penyebab munculnya masalah tersebut. Hal itu penting agar peneliti dapat merencanakan tindakan secara tepat. Penyebab masalah itu sendiri hendaknya digali ketika peneliti melakukan langkah kedua, yaitu pengenalan lapangan (reconnaissance). Berbeda dari penelitian “formal” yang rumusan masalahnya berbentuk kalimat pertanyaan tunggal, dalam penelitian tindakan masalah dan penyebabnya lazimnya dirumuskan dalam bentuk uraian atau narasi yang memperlihatkan konstelasi permasalahan secara mendalam dan komprehensif. Apabila digunakan bentuk pertanyaan, hal itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari uraian utuh tersebut.
4. Perencanaan Tindakan
Setelah masalah dan penyebabnya dirumuskan secara jelas, peneliti kemudian merencanakan tindakan yang akan diambil untuk memecahkan masalah tersebut. Sudah barang pasti bahwa tindakan yang akan di ambil tersebut hendaknya sesuai dengan hakikat masalahnya dan dengan mempertimbangkan penyebab timbulnya masalah itu. Untuk keperluan tersebut peneliti perlu melakukan kajian pustaka (terutama jurnal-jurnal hasil penelitian) secara memadai agar apa yang akan ia lakukan memiliki pijakan teoretis yang dapat dipertanggungjawabkan. Kajian pustaka tidak hanya memungkinkan peneliti mengenali hakikat permasalahan secara mendalam tetapi juga memungkinkannya menginfentarisasi serta menentukan cara-cara pemecahan yang sesuai dengan permasalahan tersebut. Dengan kata lain, kajian pustaka dapat membimbing peneliti ke arah tindakan yang (secara teoretis) tepat. Namun demikian, tindakan tersebut baru akan diketahui ketepatannya di lapangan. Di samping itu, rencana pengambilan tindakan sebaiknya mempertimbangkan kemungkinan keterlaksanaan (feasibility) tindakan tersebut, baik secara objektif maupun subjektif. Hendaknya dihindari rencana tindakan yang terlalu ambisius yang pada akhirnya tidak dapat dilaksanakan.
5. Tindakan pertama
Tahap ini pada hakekatnya adalah pelaksanaan rencana tindakan yang telah dikembangkan pada tahap sebelumnya. Namun demikian, seringkali didapati bahwa pelaksanaannya tidak sesederhana yang direncanakan. Hal itu karena kenyataan di lapangan seringkali jauh lebih kompleks daripada apa yang ada dalam pikiran peneliti ketika ia membuat rencana tindakan. Di samping itu, lambat atau cepat keadaan di lapangan senantiasa berubah dalam kurun waktu antara perencanaan tindakan dan pelaksanaan tindakan. Yang dapat dilakukan peneliti adalah mengantisipasi keadaan dan mengadaptasi rencana tindakan sesuai dengan keadaan nyata di lapangan.
6. Observasi pertama
Langkah selanjutnya adalah melakukan monitoring terhadap efek tindakan, yaitu apakah tindakan yang diambil menghasilkan dampak seperti yang diharapkan atau tidak. Teknik-teknik monitoring yang dapat digunakan untuk mengumpulkan data sama seperti yang telah dipaparkan pada langkah kedua di atas (pengenalan lapangan). Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa ada tindakan yang efeknya dapat segera diamati begitu tindakan diambil, seperti anak yang “ramai” kemudian diam segera setelah ia diperingatkan oleh guru; tetapi ada pula tindakan yang efeknya akan muncul beberapa saat kemudian, seperti anak yang pronunciation-nya jelek kemudian menjadi baik setelah mendapatkan pelatihan yang intensif beberapa minggu. Oleh karena itu, langkah pengamatan ini dapat dilakukan bersamaan dengan dilakukannya tindakan atau dapat pula dilakukan beberapa saat setelah tindakan diambil. Hal itu tergantung pada hakikat permasalahannya.
7. Refleksi Pertama
Refleksi dalam penelitiam tindakan (kelas) adalah kegiatan mengkaji apa yang telah terjadi di dalam kelas (effects) sebagai akibat dari diberlakukannya tindakan oleh peneliti. Langkah ini pada dasarnya adalah kegiatan menjelaskan keberhasilan dan/atau kegagalan tindakan. Sebagaimana dikemukakan di atas, rencana tindakan yang telah dikembangkan secara matang tidak selalu dapat diimplementasikan dengan baik. Hal itu karena fenomena di lapangan sangat kompleks dan seringkali sulit diprediksi. Oleh karena itu tugas peneliti adalah mengidentifikasi sisi-sisi tindakan mana yang berhasil dan sisi-sisi tindakan mana yang kurang berhasil seraya mencari penjelasan tentang masalah itu. Informasi ini sangat penting sebagai dasar untuk melakukan perencanaan ulang pada siklus selanjutnya.
8. Perencanaan Ulang
Seperti tersirat dalam uraian di atas, refleksi merupakan langkah akhir dari suatu siklus dalam penelitian tindakan (kelas). Berdasarkan hasil refleksi tersebut peneliti dapat mengakhiri penelitiannya atau melangkah ke siklus selanjutnya, tergantung apakah masalah utama yang dirumuskan pada awal penelitian telah terpecahkan. Apabila harus melangkah ke siklus berikutnya, maka peneliti perlu membuat rencana tindakan lagi atas dasar hasil refleksi pada siklus sebelumnya. Dengan demikian terdapat hubungan fungsional antara siklus satu dengan siklus selanjutnya.
E. Sifat PTK
Apabila disimak kembali uraian di atas dapat dikemukakan sifat-sifat penelitian tindakan (kelas), yang membedakannya dari penelitian “formal” lainnya. Sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut (Natawidjaja, 1997; Calleja, 2001).
1. Pada dasarnya PTK merupakan penelitian yang dirancang dan dilaksanakan di dalam setting (ruang kelas) tertentu. Oleh karena itu PTK bersifat situasional atau kontekstual. Artinya, apa yang dirancang dan dilaksanakan di dalam setting itu hanya berlaku untuk setting tersebut dan hasilnya tidak serta merta dapat diberlakukan dalam setting yang lain selama tidak ada jaminan bahwa setting lain tersebut tidak memiliki karakteristik yang sama dengan setting tempat dilakukannya penelitian.
2. PTK bertujuan mencari pemecahan praktis atas permasalahan yang bersifat lokal dan/atau mencari cara-cara untuk meningkatkan kualitas suatu sistem dalam setting tertentu yang juga bersifat lokal. Oleh karena itu, penelitian tindakan kelas tidak menerapkan metodologi penelitian seketat penelitian ilmiah lainnya, yang berusaha mengembangkan atau menemukan teori-teori ilmiah yang bersifat universal. Sehubungan dengan hal itu, kredibilitas penelitian tindakan kelas tersebut ditentukan oleh kemanfaatannya dalam memecahkan masalah atau meningkatkan kualitas sistem tersebut.
3. PTK terdiri atas siklus-siklus yang masing-masing meliputi perencanaan (planning), tindakan (acting), pengamatan (observing), dan refleksi (reflecting). Keempat langkah tersebut akan berulang dalam setiap siklus dan perpindahan dari satu siklus ke siklus selanjutnya bersifat fungsional. Artinya, siklus satu akan menjadi landasan bagi siklus dua; siklus dua akan menjadi dasar bagi siklus tiga; demikian seterusnya hingga PTK berakhir.
4. Meskipun dapat dilaksanakan sendiri oleh seorang guru, PTK cenderung bersifat partisipasif. Paling tidak guru sebagai peneliti akan melibatkan siswa (sebagai subjek) dalam proses penelitian. Peneliti tidak akan mampu mengungkap masalah yang timbul berikut penyebabnya secara akurat tanpa partisipasi aktif dari para siswa tersebut.
5. Karena dalam PTK proses sama pentingnya dengan hasil tindakan, maka penelitian ini cenderung bersifat kualitatif daripada kuantitatif. Langkah-langkah perencanaan, tindakan, pengamatan, dan refleksi yang membentuk satu siklus merupakan keseluruhan proses yang lazimnya dideskripsikan dengan kata-kata. Apabila kemudian digunakan angka-angka yang merefleksikan prestasi siswa, misalnya, hal itu merupakan bagian yang tak terpisahkan dari keseluruahn proses tersebut.
6. PTK bersifat reflektif. Artinya, kemampuan reflektif peneliti terhadap proses dan hasil tindakan merupakan bagian penting dalam setiap siklus. Hasil refleksi menjadi landasan yang penting bagi pengembangan rencana dan pengambilan tindakan selanjutnya.
F. Prinsip Pelaksanaan PTK
Mengingat PTK merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di dalam kelas, maka pelaksanaannya tidak boleh mengganggu guru dalam menjalankan tugasnya sehari-hari. Berkaitan dengan masalah tersebut, berikut ini disampaikan prinsip-prinsip pelaksanaan PTK bagi guru (Hopkins, 1993).
1. Tugas utama guru adalah mengajar; dan oleh karena itu, pelaksanaan PTK tidak boleh mengganggu tugas mengajar guru tersebut.
2. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam PTK jangan sampai menyita waktu guru karena tugas guru sendiri sebenarnya sudah banyak.
3. Metodologi yang digunakan dalam PTK harus memberi kesempatan kepada guru untuk mengembangkan hipotesis yang dapat diandalkan dan mengembangkan strategi yang cocok dengan kondisi kelas tempat guru mengajar.
4. Masalah yang menjadi tema penelitian hendaknya masalah yang berakar dari kelas tersebut dan cukup signifikan untuk dipecahkan melalui PTK.
5. Sejauh mungkin PTK hendaknya dikembangkan ke arah penelitian dalam ruang lingkup sekolah. Ini berarti bahwa seluruh staf sekolah diharapkan berpartisipasi dalam PTK tersebut.
G. Penutup
Melalui tulisan ini telah dipaparkan secara garis besar konsep dan prosedur pelaksanaan penelitian tindakan kelas sebagai pemahaman awal. Bagi mereka yang sekedar ingin tahu, saya kira paparan tersebut sudah cukup memadai. Namun, bagi mereka yang bermaksud melaksanakannya, uraian tersebut masih perlu dilengkapi. Beberapa hal yang perlu didalami adalah cara merumuskan masalah, cara membuat rencana tindakan, cara melakukan analisis dan refleksi, dan cara menuangkan hasil penelitian dalam bentuk laporan penelitian. Yang juga tidak kalah penting dari topik-topik di atas adalah strategi dan teknik mensosialisasikan permasalahan kepada orang-orang yang terlibat dalam penelitian tindakan dan mengajak mereka untuk berpartipasi aktif dalam melakukan tindakan apabila PTK ini dilakukan secara kolaboratif.
DAFTAR PUSTAKA
Calleja, Colin. 2001. “The Role of Action Research in Promoting a Process of Critical Reflection on Practice to Bring about Change”. http://www.keyworld.net/ sananton/publication/pub3.html
Gronlund, Norman E. 1985. Measurement and Evaluation in Teaching. New York: MacMillan Publishing Company.
Hopkins, David. 1993. A Teacher’s Guide to Classroom Research. Philadelphia: Open University Press.
Johnson, Donna M. 1992. Approaches to Research in Second Language Learning. New York: Longman.
McNiff, Jean. 1992. Action Research: Principles and Practice. London: Routledge.
Natawidjaja, Rachman. 1997. “Konsep Dasar Penelitian Tindakan (Action Research)”. Bandung: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, IKIP Bandung.
Soedijarto. 1993. Memantapkan Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: gramedia Widiasarana Indonesia.
Spradley, James P. 1980. Participant Observation. New York: Holt, Rinehart and Winston.
Turney C., et.al. 1992. The Classroom Manager. Australia: Allen & Unwin.
Webb, Graham. 1996. “Becoming Critical to Action Reseach for Development”, dalam New Direction in Action Research oleh Ortrun Zuber-Skerritt (ed.). Washington D.C.: The Falmer Press.
Lampiran
STRUKTUR PENULISAN PROPOSAL PENELITIAN
TINDAKAN KELAS (PTK)
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat Penelitian
BAB II. KAJIAN TEORETIK DAN HIPOTESIS TINDAKAN
A. Kajian Teoretik
B. Hipotesis Tindakan
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Setting Penelitian
B. Subjek Penelitian
C. Metode Penelitian
D. Langkah-Langkah Penelitian
1. Rencana Tindakan
2. Implementasi Tindakan
3. Pengamatan
4. Refleksi
E. Data dan Cara Pengumpulannya
F. Teknik Analisis Data
BIBLIOGRAFI
LAMPIRAN (apabila ada)
PENJELASAN SINGKAT TIAP ELEMEN DALAM PROPOSAL
PENELITIAN TINDAKAN KELAS
1. Judul Penelitian
Judul penelitian hendaknya menyatakan dengan akurat dan padat permasalahan serta bentuk tindakan yang dilakukan peneliti sebagai upaya pemecahan masalah. Formulasi judul hendaknya singkat dan jelas serta menampilkan sosok penelitian tindakan kelas (PTK), bukan sosok penelitian yang lain.
2. Halaman Pengesahan
Halaman ini bersisi persetujuan komisi pembimbing/konsultan tentang proposal penelitian yang diajukan. Persetujuan tersebut diberikan dalam bentuk tanda tangan dari komisi pembimbing/konsultan tersebut.
3. Daftar Isi
Daftar isi ditulis dalam spasi tunggal dengan format sebagaimana struktur penulisan proposal di atas. Masing-masing butir/elemen dalam daftar isi diikuti nomor halaman.
4. Latar Belakang Masalah
Dalam bagian ini diuraikan pentingnya penanganan permasalahan yang diajukan. Sehubungan dengan hal itu, perlu ditunjukkan fakta-fakta yang mendorong munculnya permasalahan tersebut, baik yang berupa hasil pengamatan, wawancara, tes, atau teknik-teknik yang lain. Dukungan dari hasil penelitian lain yang relevan akan lebih memperkokoh argumentasi dan signifikansi tentang pemecahan masalah yang diusulkan. Ciri khas PTK yang berbeda dari penelitian-penelitian lain hendaknya juga tercermin dalam uraian bagian ini.
5. Rumusan Masalah
Masalah hendaknya diangkat dari masalah keseharian di sekolah yang memang layak dan perlu diselesaikan melalui PTK. Uraian masalah hendaknya didahului dengan identifikasi masalah, yang dilanjutkan dengan analisis dan diikuti dengan refleksi awal sehingga gambaran permasalahan yang perlu ditangani tampak menjadi jelas. Perumusan masalah hendaknya disertai dengan penyebab munculnya masalah tersebut. Perumusan masalah itu sendiri berbentuk pertanyaan.
6. Tujuan Penelitian
Seperti pada jenis penelitian lainnya, tujuan penelitian pada penelitian tindakan (kelas) pada umumnya merupakan parafrase dari rumusan masalah. Namun demikian, tidak jarang bahwa bagian tujuan ini menjadi tempat elaborasi dari apa yang secara umum dikemukakan dalam rumusan masalah. Indikator-indikator suatu konsep/konstruk dapat dipaparkan dalam bagian ini sehingga konstelasi permasalahan yang akan dikaji menjadi lebih jelas
7. Manfaat Penelitian
Dalam bagian ini dikemukakan manfaat yang dapat dipetik apabila penelitian telah terlaksana. Uraian tentang manfaat tersebut hendaknya bersifat spesifik, yang terkait langsung dengan topik penelitian. Hendaknya dihindarkan uraian tentang manfaat penelitian yang terlalu umum dan bombastis.
8. Kajian Teoretis dan Hipotesis Tindakan
Dalam bagian ini dipaparkan teori-teori yang mengarah pada pemahaman konsep yang digunakan dalam penelitian. Di samping itu, kajian teoretis hendaknya mengarah pada pencarian alternatif pemecahan masalah yang diajukan. Argumentasi teoretik yang logis diperlukan guna menyusun kerangka konseptual. Atas dasar kerangka konseptual tersebut, hipotesis tindakan dirumuskan.
9. Setting Penelitian
Setting penelitian mengacu pada tempat dan waktu penelitian. Dalam kaitannya dengan tempat penelitian, peneliti perlu menjelaskan tidak hanya deskripsi fisik tempat, tetapi juga deskripsi sosiologis, psikologis, kultural, dan lain sebagainya. Deskripsi tersebut sekaligus dapat berfungsi sebagai konteks pemaknaan hasil penelitian.
10. Subjek Penelitian
Subjek penelitian mengacu pada subjek yang akan dikenai perlakuan, seperti siswa kelas tertentu di sekolah tertentu. Uraian tentang masalah ini tidak hanya menyangkut jumlah melainkan juga karakteristik subjek tersebut yang relevan dengan dilakukannya PTK.
11. Metode Penelitian
Dalam bagian ini dijelaskan bahwa jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian tindakan kelas, yang karakteristinya berbeda dari jenis-jenis penelitian lainnya. Oleh karena itu peneliti perlu mengemukakan sejumlah ciri yang melekat pada PTK tersebut.
12. Rencana Tindakan
Rencana tindakan mengacu pada rencana tindakan untuk mengatasi permasalahan yang diajukan. Secara substansial rencana tersebut telah tercermin dari uraian pada Kajian Teoretis dan Hipotesis Tindakan. Bagian ini lebih mengelaborasikan rencana tersebut. Oleh karena itu berbagai tindakan lain yang mengarah pada terlaksananya pemecahan masalah tersebut (seperti pembuatan bahan ajar, penyiapan evaluasi, pengadaan alat-alat pembelajaran) perlu dijelaskan dalam bagian ini.
13. Implementasi Tindakan
Bagian ini berisi deskripsi skenario tindakan pemecahan masalah, yang sifatnya lebih konkret daripada sekedar rencana tindakan.
14. Pengamatan
Pada bagian ini peneliti menguraikan cara-cara yang akan dilakukan untuk mengetahui efek dari tindakan yang dilakukan, termasuk di dalamnya sarana-sarana yang diperlukan untuk merekam hasil pengamatan tersebut.
15. Refleksi
Hasil pengamatan di atas selanjutnya dianalisis, dan atas dasar hasil analisis tersebut peneliti melakukan refleksi atas apa yang sejauh ini dilakukan. Pada fase ini akan ditentukan apakah peneliti perlu melangkah ke siklus berikutnya atau tidak. Apabila ya, maka langkah-langkah sebagaimana diuraikan di atas diulangi dengan pengembangan seperlunya.
16. Data dan Cara Pengumpulannya
Dalam bagian ini peneliti mengemukakan jenis data yang diperlukan dalam penelitian dan teknik-teknik yang akan digunakan untuk memperoleh data tersebut, sejak dari langkah identifikasi masalah hingga pemantauan akhir. Boleh jadi data penelitian merupakan kombinasi antara data kuantitatif dan data kualitatif. Semuanya perlu dijelaskan.
17. Teknis Analisis Data
Sehubungan dengan data penelitian di atas, peneliti perlu menjelaskan teknik-teknik analisis data yang akan digunakan. Tidak jarang peneliti menggunakan lebih dari satu teknik analisis. Sudah barang pasti,jenis teknik analisis disesuaikan dengan jenis datanya. Oleh karena itu peneliti perlu menjelaskan hal ini.
18. Daftar Pustaka
Dalam bagian ini dituliskan seluruh referensi yang dijadikan acuan dalam penelitian dan yang disebut langsung dalam tubuh proposal. Rujukan yang tidak disebut tidak perlu ditulis. Penulisan daftar pustaka disesuaikan dengan aturan yang ada.
19. Lampiran
Dalam bagian ini dilampirkan berkas-berkas penting yang terkait langsung dengan pelaksanaan PTK berikut hasilnya. Instrumen monitoring yang mengawali dilakukannya PTK seperti pedoman pengamatan, protokol wawancara, tes, angket, dan/atau analisis dokumen perlu dilampirkan. Demikian pula hasil monitoring tersebut, seperti data-data hasil prestasi belajar dan deskripsi perilaku/kinerja siswa juga dilampirkan. Hal itu dapat membantu pembimbing/konsultan melihat dan menilai akurasi pengajuan masalah penelitian.
Rabu, 09 September 2009
THE ADVANTAGES AND DISADVANTAGES OF CARTOON SPONGE BOB TO THE INDONESIAN CHILDREN
THE ADVANTAGES AND DISADVANTAGES OF CARTOON SPONGE BOB
TO THE INDONESIAN CHILDREN
Written by: Sri Sugiastuti (S 200060077)
Introduction
Nowadays, many cartoon films have entered to television program as entertainment. As its purpose, the cartoon films are aimed to children. We do remember in the 90’s there are many imported cartoon films from Japan (for example Doraemon became barometer of cartoon film at the time). But now, the existence of Japanese is decreased by American cartoon film. It can be proved by the decreasing of Japanese cartoon film in the television program. In other hand, the American cartoon film has replaced the dominance of cartoon film in Indonesia, which is monopolized by Japan before. The enter of American cartoon films are proved by the television stations that bought even tied by contract with the producer of American cartoon film, one example is Nickelodeon (which is cooperated with ANTV, LATIVI, then GLOBAL TV). The most famous cartoon film produced by it is Sponge bob, every child knows it. It is booming in the children lifestyle, like fashion, furniture, etc. Everything about Sponge bob is always sold-out. Unfortunately, there are some bad effects from this film without realizing by both of children and parents. This film has damaged, step by step, children mindset. If we may say, there is courteous-scene that should not be seen by the children. As we know, the typical of them always wants to imitate something surround them. So, if the children always watch this program without any guidance of their parent, they will get undesirable effects.
Discussion
Sponge bob is a kind of humor cartoon film. It is about the deep sea living. The characters are:
1. Sponge bob a smart and humorous but fussy chef in Krusty Krab restaurant. He is the only character who can make Krabby Patty (hamburger alike- favorite menu in the deep sea). He lives in a pineapple-house.
2. Patrick Star A very stupid star fish that always accompany Sponge bob in play. He lives under the rock.
3. Squid ward A diligent octopus. He hates everything except something that gives him benefit. He looks bore anytime. He lives in a house likes Aztec statue.
4. Mr. Krab A money mad red crab, the owner of Krusty Krab Restaurant. He is such a timely boss, especially if it relates to money gathering. He will do everything for the money.
5. Sandy A genius squirrel. She thought that she is the most genius creature in the deep sea, because she is a mammal. She lives in the glass house. There is a normal environment likes in the ground in this house. She wears a glass helm, astronaut alike, in order to get oxygen. Her hobby is karate.
6. Gary A snail, pet of Sponge Bob. It sounds like cat, meow.
Advantages
There are many advantages in this cartoon:
1. The Unique Characters
By this unique characterization, the audiences can remember the distinguish characters each. It is about protagonist and antagonist, so that the audiences can know it clearly.
2. Culture Enrichment
By seeing this cartoon, the audiences can know the other culture-especially Greece and American.
3. Vocabulary Enrichment
There are so many simple but essential vocabularies that should be mastered by the audience as early as they can. It is important to introduce them with it as the part of English learning.
4. Imagination
This cartoon has great imagination. It will build up the audiences’ imagination. As we know that childhood never repeat, it needs imagination to make them grow up well.
5. Useful Activity
The children are better to see this cartoon than to see other television program like crime news, electron cinema, unethical show, etc.
Disadvantages
In the film, there are many bizarre thing and behavior that should not be consummated by children. We can take examples in the film;
1. Sponge Bob and Patrick Star always show and move their buttock when they talk with another.
2. Squid Ward always shows his bore face when he meets another.
3. Sponge Bob and his pal, Patrick Star, are well-known as their annoyance. They do something that makes people angry.
4. The Krabby Patty is symbolized the favorite menu in USA, fast-food. In this case, in children mind fast-food is delicious, prestige, and everything. It will make them to ask fast –food likes in the film for their daily menu.
5. The habit to say “Oh, Neptune!” which is the word when the cartoon character gets unlucky or trouble. We know that Neptune is the name of god in the sea in Greece myth. So, this thing makes the children to forget their spirit as eastern who believed in One God.
6. The unpredictable plot makes the children mindset become confuse. For example, there is no appropriate plot and run randomly.
7. The strange thing and attitude that is showed in the film, could affects the children mindset to be strange, too. Even they will imitate it.
The Reconstructionists believe that modern society and modern man’s survival are intimately related. To ensure human survival and to create a more satisfying corporate civilization, man must become a social engineer who is able to plan the course of change and direct the dynamic instruments of science and technology to achieve the desired goals. A Reconstructionist education is one that cultivates (Cultural Studies, Chris Barker: 260):
1. a sense of conscious discrimination in the examination of the cultural heritage;
2. a commitment to work deliberate social reformation;
3. a willingness to develop a planning mentality which is capable of plotting the course of cultural revision;
4. the testing of the cultural plan by enacting programs of deliberate social reform.
Reconstructionists believe that all social reform arises in existing life conditions. Students are expected to define the major problems facing mankind. A sense of conscious discrimination means that the student is capable of recognizing the dynamic forces of the present. It also means that he is equally able to detect the beliefs, customs, and institutions that impede cultural renewal. Those values that dominate merely because they are customary must be discarded. The moral and ideological culture is saturated with values that are residues of the prescientific and pretechnological age. Bigotry, hatreds, superstitions, and ignorance must be identified and discarded.
Although the Reconstructionists have not defined with precision the new society that they wish to create, some of its dimensions might be mentioned. It is likely to be one in which science will be used as a humane instrument; it is likely to be one which is corporate and in which all men equally share the good thing of life, it is likely to be one that is international in scope.
Likewise, Fiske (1987: 288), who argues that popular culture, is constituted by the meanings that people make with it rather than those identifiable within the texts. Fiske discusses television in terms of two separate economies: a financial economy of production and a cultural economy of consumption. The former is primarily concerned with money and the exchange value of commodities. The latter is the site of cultural meanings, pleasures and social identities. While the financial economy needs to be taken into account in any investigation of the cultural, it does not determine it nor invalidate the power audiences have as producers of meaning at the level of consumption
The globalization of the institutions of television is paralleled by the world-wide circulation of key television narratives and genres, including news, soap opera, music television, sport and game shows, set within an advancing ‘promotional’ and postmodern culture marked by bricolage, intertextuality and genre blurring.
Attention was paid to the ideological construction of television programmes, including hegemonic versions of world news which exclude alternative perspectives. However, it was also argued that television programmes are polysemic; they contain many meanings which are commonly contradictory. Thus, audiences can explore a range of potential meanings. Further, evidence was given to suggest that audiences, are active producers of meaning and do not simply take on board those textual meanings identified by critics. Hence, global television is better understood as the promotion of bricolage and hybridity rather than as cultural imperialism.
The significance of television is not confined to textual meanings for it is situated and sustained within the activities of everyday life. While the political economy and programme flows of television may be global, watching television is situated within the domestic practices of the day to day. In particular, it was argued that the domestic space of the home is a site for the construction and contestation of wider cultural identities, including those of gender.
Conclusion
Television has been a long standing concern of cultural studies because of its central place in the communicative practices of western societies and its proliferation across the globe. These concerns have become increasingly acute as global television turns away from public service broadcasting towards commercial television dominated by multimedia corporations in search of synergy and convergence.
The booming of cartoon film in the television program has become a very complicated matter. The economical interest has made the programmer do not care about the importance of children rights, to get suitable entertainment. The entire problem mostly derived from the western capitalists who have power, money, to under control the children’s entertainment. Moreover, the show of cartoon films are now disturb the busy time for them to learn their subject matter. As addition, Sponge Bob cartoon film has taught them some bad attitude and habit that should not they consummate.
However television also has advantages and disadvantages, especially for children. Because they do not know which is truth and which is wrong. The parent and censor agent should chose the best film for the children. Moreover, there are many television programs that have hidden mission likes Sponge Bob to break our next generation slowly. So we have to start from now to select the cartoon films that enter in our television and it is wise to make our cartoon films ourselves with appropriate culture, for example education, ethic kindness, love fatherland, religion, and the spirit of positive thinking.
References
Baker. Chris. 2001. Cultural Studies: Theory and Practice: London. Thousand Oaks, and
New Delhi: Sage Publication
Hillenberg. Steven. 2005. SpongeBob Squarepants the Movie. Australia: Nickelodeon
Lee Gutek, Gerald. 1974. Philosophical Alternatives in Education. Chicago: Loyola
University of Chicago
TO THE INDONESIAN CHILDREN
Written by: Sri Sugiastuti (S 200060077)
Introduction
Nowadays, many cartoon films have entered to television program as entertainment. As its purpose, the cartoon films are aimed to children. We do remember in the 90’s there are many imported cartoon films from Japan (for example Doraemon became barometer of cartoon film at the time). But now, the existence of Japanese is decreased by American cartoon film. It can be proved by the decreasing of Japanese cartoon film in the television program. In other hand, the American cartoon film has replaced the dominance of cartoon film in Indonesia, which is monopolized by Japan before. The enter of American cartoon films are proved by the television stations that bought even tied by contract with the producer of American cartoon film, one example is Nickelodeon (which is cooperated with ANTV, LATIVI, then GLOBAL TV). The most famous cartoon film produced by it is Sponge bob, every child knows it. It is booming in the children lifestyle, like fashion, furniture, etc. Everything about Sponge bob is always sold-out. Unfortunately, there are some bad effects from this film without realizing by both of children and parents. This film has damaged, step by step, children mindset. If we may say, there is courteous-scene that should not be seen by the children. As we know, the typical of them always wants to imitate something surround them. So, if the children always watch this program without any guidance of their parent, they will get undesirable effects.
Discussion
Sponge bob is a kind of humor cartoon film. It is about the deep sea living. The characters are:
1. Sponge bob a smart and humorous but fussy chef in Krusty Krab restaurant. He is the only character who can make Krabby Patty (hamburger alike- favorite menu in the deep sea). He lives in a pineapple-house.
2. Patrick Star A very stupid star fish that always accompany Sponge bob in play. He lives under the rock.
3. Squid ward A diligent octopus. He hates everything except something that gives him benefit. He looks bore anytime. He lives in a house likes Aztec statue.
4. Mr. Krab A money mad red crab, the owner of Krusty Krab Restaurant. He is such a timely boss, especially if it relates to money gathering. He will do everything for the money.
5. Sandy A genius squirrel. She thought that she is the most genius creature in the deep sea, because she is a mammal. She lives in the glass house. There is a normal environment likes in the ground in this house. She wears a glass helm, astronaut alike, in order to get oxygen. Her hobby is karate.
6. Gary A snail, pet of Sponge Bob. It sounds like cat, meow.
Advantages
There are many advantages in this cartoon:
1. The Unique Characters
By this unique characterization, the audiences can remember the distinguish characters each. It is about protagonist and antagonist, so that the audiences can know it clearly.
2. Culture Enrichment
By seeing this cartoon, the audiences can know the other culture-especially Greece and American.
3. Vocabulary Enrichment
There are so many simple but essential vocabularies that should be mastered by the audience as early as they can. It is important to introduce them with it as the part of English learning.
4. Imagination
This cartoon has great imagination. It will build up the audiences’ imagination. As we know that childhood never repeat, it needs imagination to make them grow up well.
5. Useful Activity
The children are better to see this cartoon than to see other television program like crime news, electron cinema, unethical show, etc.
Disadvantages
In the film, there are many bizarre thing and behavior that should not be consummated by children. We can take examples in the film;
1. Sponge Bob and Patrick Star always show and move their buttock when they talk with another.
2. Squid Ward always shows his bore face when he meets another.
3. Sponge Bob and his pal, Patrick Star, are well-known as their annoyance. They do something that makes people angry.
4. The Krabby Patty is symbolized the favorite menu in USA, fast-food. In this case, in children mind fast-food is delicious, prestige, and everything. It will make them to ask fast –food likes in the film for their daily menu.
5. The habit to say “Oh, Neptune!” which is the word when the cartoon character gets unlucky or trouble. We know that Neptune is the name of god in the sea in Greece myth. So, this thing makes the children to forget their spirit as eastern who believed in One God.
6. The unpredictable plot makes the children mindset become confuse. For example, there is no appropriate plot and run randomly.
7. The strange thing and attitude that is showed in the film, could affects the children mindset to be strange, too. Even they will imitate it.
The Reconstructionists believe that modern society and modern man’s survival are intimately related. To ensure human survival and to create a more satisfying corporate civilization, man must become a social engineer who is able to plan the course of change and direct the dynamic instruments of science and technology to achieve the desired goals. A Reconstructionist education is one that cultivates (Cultural Studies, Chris Barker: 260):
1. a sense of conscious discrimination in the examination of the cultural heritage;
2. a commitment to work deliberate social reformation;
3. a willingness to develop a planning mentality which is capable of plotting the course of cultural revision;
4. the testing of the cultural plan by enacting programs of deliberate social reform.
Reconstructionists believe that all social reform arises in existing life conditions. Students are expected to define the major problems facing mankind. A sense of conscious discrimination means that the student is capable of recognizing the dynamic forces of the present. It also means that he is equally able to detect the beliefs, customs, and institutions that impede cultural renewal. Those values that dominate merely because they are customary must be discarded. The moral and ideological culture is saturated with values that are residues of the prescientific and pretechnological age. Bigotry, hatreds, superstitions, and ignorance must be identified and discarded.
Although the Reconstructionists have not defined with precision the new society that they wish to create, some of its dimensions might be mentioned. It is likely to be one in which science will be used as a humane instrument; it is likely to be one which is corporate and in which all men equally share the good thing of life, it is likely to be one that is international in scope.
Likewise, Fiske (1987: 288), who argues that popular culture, is constituted by the meanings that people make with it rather than those identifiable within the texts. Fiske discusses television in terms of two separate economies: a financial economy of production and a cultural economy of consumption. The former is primarily concerned with money and the exchange value of commodities. The latter is the site of cultural meanings, pleasures and social identities. While the financial economy needs to be taken into account in any investigation of the cultural, it does not determine it nor invalidate the power audiences have as producers of meaning at the level of consumption
The globalization of the institutions of television is paralleled by the world-wide circulation of key television narratives and genres, including news, soap opera, music television, sport and game shows, set within an advancing ‘promotional’ and postmodern culture marked by bricolage, intertextuality and genre blurring.
Attention was paid to the ideological construction of television programmes, including hegemonic versions of world news which exclude alternative perspectives. However, it was also argued that television programmes are polysemic; they contain many meanings which are commonly contradictory. Thus, audiences can explore a range of potential meanings. Further, evidence was given to suggest that audiences, are active producers of meaning and do not simply take on board those textual meanings identified by critics. Hence, global television is better understood as the promotion of bricolage and hybridity rather than as cultural imperialism.
The significance of television is not confined to textual meanings for it is situated and sustained within the activities of everyday life. While the political economy and programme flows of television may be global, watching television is situated within the domestic practices of the day to day. In particular, it was argued that the domestic space of the home is a site for the construction and contestation of wider cultural identities, including those of gender.
Conclusion
Television has been a long standing concern of cultural studies because of its central place in the communicative practices of western societies and its proliferation across the globe. These concerns have become increasingly acute as global television turns away from public service broadcasting towards commercial television dominated by multimedia corporations in search of synergy and convergence.
The booming of cartoon film in the television program has become a very complicated matter. The economical interest has made the programmer do not care about the importance of children rights, to get suitable entertainment. The entire problem mostly derived from the western capitalists who have power, money, to under control the children’s entertainment. Moreover, the show of cartoon films are now disturb the busy time for them to learn their subject matter. As addition, Sponge Bob cartoon film has taught them some bad attitude and habit that should not they consummate.
However television also has advantages and disadvantages, especially for children. Because they do not know which is truth and which is wrong. The parent and censor agent should chose the best film for the children. Moreover, there are many television programs that have hidden mission likes Sponge Bob to break our next generation slowly. So we have to start from now to select the cartoon films that enter in our television and it is wise to make our cartoon films ourselves with appropriate culture, for example education, ethic kindness, love fatherland, religion, and the spirit of positive thinking.
References
Baker. Chris. 2001. Cultural Studies: Theory and Practice: London. Thousand Oaks, and
New Delhi: Sage Publication
Hillenberg. Steven. 2005. SpongeBob Squarepants the Movie. Australia: Nickelodeon
Lee Gutek, Gerald. 1974. Philosophical Alternatives in Education. Chicago: Loyola
University of Chicago
Selasa, 30 Juni 2009
Senin, 23 Februari 2009
About me
Ini pertama kali saya buat blog. Makasih mbak lies yang udah sabar dampingi aq. Lemah teles ya....
Langganan:
Postingan (Atom)